Ekpressi Sesungguhnya Wajah Cewek Saat Ngentot Download |
Janin Tak Berayah
Aku dibilang anak dari keluarga
broken home sepertinya tidak bisa, walaupun ayah dan ibuku bercerai saat aku
baru saja diterima di perguruan tinggi. Adanya ketidakcocokan serta
pertengkaran-pertengkaran yang sering kali terjadi terpaksa meluluh-lantakkan
pernikahan mereka yang saat itu telah berusia 18 tahun dengan aku sebagai putri
tunggal mereka.
Keluargaku saat itu hidup berkecukupan. Ayahku yang berkedudukan sebagai
seorang pejabat teras sebuah departemen memang memberikan nafkah yang cukup
bagiku dan ibuku, walaupun ia bekerja secara jujur dan jauh dari korupsi, tidak
seperti pejabat-pejabat lain pada umumnya.
Dari segi materi, memang aku tidak memiliki masalah, begitu pula dari segi
fisikku. Kuakui, wajahku terbilang cantik, mata indah, hidung bangir, serta
dada yang membusung walau tidak terlalu besar ukurannya. Semua itu ditambah
dengan tubuhku yang tinggi semampai, sedikit lebih tinggi dari rata-rata gadis
seusiaku, memang membuatku lebih menonjol dibandingkan yang lain. Bahkan aku
menjadi mahasiswi baru primadona di kampus.
Akan tetapi karena pengawasan orang tuaku yang ketat, di samping pendidikan
agamaku yang cukup kuat, aku menjadi seperti anak mama. Tidak seperti
remaja-remaja pada umumnya, aku tidak pernah pergi keluyuran ke luar rumah
tanpa ditemani ayah atau ibu.
Namun setelah perceraian itu terjadi, dan aku ikut ibuku yang menikah lagi dua
bulan kemudian dengan duda berputra satu, seorang pengusaha restoran yang cukup
sukses, aku mulai berani pergi keluar rumah tanpa didampingi salah satu dari
orang tuaku. Itupun masih jarang sekali. Bahkan ke diskotik pun aku hanya
pernah satu kali. Itu juga setelah dibujuk rayu oleh seorang laki-laki teman
kuliahku. Setelah itu aku kapok. Mungkin karena baru pertama kali ini aku pergi
ke diskotik, baru saja duduk sepuluh menit, aku sudah merasakan pusing, tidak
tahan dengan suara musik disko yang bising berdentam-dentam, ditambah dengan
bau asap rokok yang memenuhi ruangan diskotik tersebut.
"Don, kepala gue pusing. Kita pulang aja yuk."
"Alaa, Mer. Kita kan baru sampai di sini. Masa belum apa-apa udah mau
pulang. Rugi kan. Lagian kan masih sore."
"Tapi gue udah tidak tahan lagi."
"Gini deh, Mer. Gue kasih elu obat penghilang pusing."
Temanku itu memberikanku tablet yang berwarna putih. Aku pun langsung menelan
obat sakit kepala yang diberikannya.
"Gimana sekarang rasanya? Enak kan?"
Aku mengangguk. Memang rasanya kepalaku sudah mulai tidak sakit lagi. Tapi
sekonyong-konyong mataku berkunang-kunang. Semacam aliran aneh menjalari
sekujur tubuhku. Antara sadar dan tidak sadar, kulihat temanku itu tersenyum.
Kurasakan ia memapahku keluar diskotik. "Ini cewek lagi mabuk", katanya
kepada petugas keamanan diskotik yang menanyainya. Lalu ia menjalankan mobilnya
ke sebuah motel yang tidak begitu jauh dari tempat itu.
Setiba di motel, temanku memapahku yang terhuyung-huyung masuk ke dalam sebuah
kamar. Ia membaringkan tubuhku yang tampak menggeliat-geliat di atas ranjang.
Kemudian ia menindih tubuhku yang tergeletak tak berdaya di kasur. Temanku
dengan gemas mencium bibirku yang merekah mengundang. Kedua belah buah dadaku
yang ranum dan kenyal merapat pada dadanya. Darah kelaki-lakiannya dengan cepat
semakin tergugah untuk menggagahiku. "Ouuhhh... Don!" desahku.
Temanku meraih tubuhku yang ramping. Ia segera mendekapku dan mengulum bibirku
yang ranum. Lalu diciuminya bagian telinga dan leherku. Aku mulai
menggerinjal-gerinjal. Sementara itu tangannya mulai membuka satu persatu
kancing blus yang kupakai. Kemudian dengan sekali sentakan kasar, ia menarik
lepas tali BH-ku, sehingga tubuh bagian atasku terbuka lebar, siap untuk
dijelajahi. Tangannya mulai meraba-raba buah dadaku yang berukuran cukup besar
itu. Terasa suatu kenikmatan tersendiri pada syarafku ketika buah dadaku
dipermainkan olehnya. "Don... Ouuhhh... Ouuhhh..." rintihku saat
tangan temanku sedang asyik menjamah buah dadaku.
Tak lama kemudian tangannya setelah puas berpetualang di buah dadaku sebelah
kiri, kini berpindah ke buah dadaku yang satu lagi, sedangkan lidahnya masih
menggumuli lidahku dalam ciuman-ciumannya yang penuh desakan nafsu yang semakin
menjadi-jadi. Lalu ia menanggalkan celana panjangku. Tampaklah pahaku yang
putih dan mulus itu. Matanya terbelalak melihatnya. Temanku itu mulai
menyelusupkan tangannya ke balik celana dalamku yang berwarna kuning muda. Dia
mulai meremas-remas kedua belah gumpalan pantatku yang memang montok itu.
"Ouh... Ouuh... Jangan, Don! Jangan! Ouuhhh..." jeritku ketika
jari-jemari temanku mulai menyentuh bibir kewanitaanku. Namun jeritanku itu tak
diindahkannya, sebaliknya ia menjadi semakin bergairah. Ibu jarinya
mengurut-urut klitorisku dari atas ke bawah berulang-ulang. Aku semakin menggerinjal-gerinjal
dan berulang kali menjerit.
Kepala temanku turun ke arah dadaku. Ia menciumi belahan buah dadaku yang
laksana lembah di antara dua buah gunung yang menjulang tinggi. Aku yang
seperti tersihir, semakin menggerinjal-gerinjal dan merintih tatkala ia
menciumi ujung buah dadaku yang kemerahan. Tiba-tiba aku seperti terkejut
ketika lidahnya mulai menjilati ujung puting susuku yang tidak terlalu tinggi
tapi mulai mengeras dan tampak menggiurkan. Seperti mendapat kekuatanku
kembali, segera kutampar wajahnya. Temanku itu yang kaget terlempar ke lantai.
Aku segera mengenakan pakaianku kembali dan berlari ke luar kamar. Ia hanya
terpana memandangiku. Sejak saat itu aku bersumpah tidak akan pernah mau ke
tempat-tempat seperti itu lagi.
Sudah dua tahun berlalu aku dan ibuku hidup bersama dengan ayah dan adik
tiriku, Rio, yang umurnya tiga tahun lebih muda dariku. Kehidupan kami berjalan
normal seperti layaknya keluarga bahagia. Aku pun yang saat itu sudah di
semester enam kuliahku, diterima bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta
nasional papan atas. Meskipun aku belum selesai kuliah, namun berkat
penampilanku yang menarik dan keramah-tamahanku, aku bisa diterima di situ,
sehingga aku pun berhak mengenakan pakaian seragam baju atas berwarna putih
agak krem, dengan blazer merah yang sewarna dengan rokku yang ujungnya sedikit
di atas lutut.
Sampai suatu saat, tiba-tiba ibuku terkena serangan jantung. Setelah diopname
selama dua hari, ibuku wafat meninggalkan aku. Rasanya seperti langit runtuh
menimpaku saat itu. Sejak itu, aku hanya tinggal bertiga dengan ayah tiriku dan
Rio.
Sepeninggal ibuku, sikap Rio dan ayahnya mulai berubah. Mereka berdua beberapa
kali mulai bersikap kurang ajar terhadapku, terutama Rio. Bahkan suatu hari
saat aku ketiduran di sofa karena kecapaian bekerja di kantor, tanpa kusadari
ia memasukkan tangannya ke dalam rok yang kupakai dan meraba paha dan
selangkanganku. Ketika aku terjaga dan memarahinya, Rio malah mengancamku.
Kemudian ia bahkan melepaskan celana dalamku. Tetapi untung saja, setelah itu
ia tidak berbuat lebih jauh. Ia hanya memandangi kewanitaanku yang belum banyak
ditumbuhi bulu sambil menelan air liurnya. Lalu ia pergi begitu saja
meninggalkanku yang langsung saja merapikan pakaianku kembali. Selain itu, Rio
sering kutangkap basah mengintip tubuhku yang bugil sedang mandi melalui lubang
angin kamar mandi. Aku masih berlapang dada menerima segala perlakuan itu. Pada
saat itu aku baru saja pulang kerja dari kantor. Ah, rasanya hari ini lelah
sekali. Tadi di kantor seharian aku sibuk melayani nasabah-nasabah bank
tempatku bekerja yang menarik uang secara besar-besaran. Entah karena apa, hari
ini bank tempatku bekerja terkena rush. Ingin rasanya aku langsung mandi.
Tetapi kulihat pintu kamar mandi tertutup dan sedang ada orang yang mandi di
dalamnya. Kubatalkan niatku untuk mandi. Kupikir sambil menunggu kamar mandi
kosong, lebih baik aku berbaring dulu melepaskan penat di kamar. Akhirnya
setelah melepas sepatu dan menanggalkan blazer yang kukenakan, aku pun langsung
membaringkan tubuhku tengkurap di atas kasur di kamar tidurnya. Ah, terasa
nikmatnya tidur di kasur yang demikian empuknya. Tak terasa, karena rasa kantuk
yang tak tertahankan lagi, aku pun tertidur tanpa sempat berubah posisi.
Aku tak menyadari ada seseorang membuka pintu kamarku dengan perlahan-lahan,
hampir tak menimbulkan suara. Orang itu lalu dengan mengendap-endap
menghampiriku yang masih terlelap. Kemudian ia naik ke atas tempat tidur.
Tiba-tiba ia menindih tubuhku yang masih tengkurap, sementara tangannya
meremas-remas belahan pantatku. Aku seketika itu juga bangun dan meronta-ronta
sekuat tenaga. Namun orang itu lebih kuat, ia melepaskan rok yang kukenakan.
Kemudian dengan secepat kilat, ia menyelipkan tangannya ke dalam celana
dalamku. Dengan ganasnya, ia meremas-remas gumpalan pantatku yang montok. Aku
semakin memberontak sewaktu tangan orang itu mulai mempermainkan bibir
kewanitaanku dengan ahlinya. Sekali-sekali aku mendelik-delik saat jari
telunjuknya dengan sengaja berulang kali menyentil-nyentil klitorisku.
"Aahh! Jangaann! Aaahh...!" aku berteriak-teriak keras ketika orang
itu menyodokkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke dalam
kewanitaanku yang masih sempit itu, setelah celana dalamku ditanggalkannya.
Akan tetapi ia mengacuhkanku. Tanpa mempedulikan aku yang terus meronta-ronta
sambil menjerit-jerit kesakitan, jari-jarinya terus-menerus merambahi lubang
kenikmatanku itu, semakin lama semakin tinggi intensitasnya.
Aku bersyukur dalam hati waktu orang itu menghentikan perbuatan gilanya. Akan
tetapi tampaknya itu tidak bertahan lama. Dengan hentakan kasar, orang itu
membalikkan tubuhku sehingga tertelentang menghadapnya. Aku terperanjat sekali
mengetahui siapa orang itu sebenarnya.
"Rio... Kamu..." Rio hanya menyeringai buas.
"Eh, Mer. Sekarang elu boleh berteriak-teriak sepuasnya, tidak ada lagi
orang yang bakalan menolong elu. Apalagi si nenek tua itu sudah mampus!"
Astaga Rio menyebut ibuku, ibu tirinya sendiri, sebagai nenek tua. Keparat.
"Rio! Jangan, Rio! Jangan lakukan ini! Gue kan kakak elu sendiri!
Jangan!"
"Kakak? Denger, Mer. Gue tidak pernah nganggap elu kakak gue. Siapa suruh
elu jadi kakak gue. Yang gue tau cuma papa gue kawin sama nenek tua, mama
elu!"
"Rio!"
"Elu kan cewek, Mer. Papa udah ngebiayain elu hidup dan kuliah. Kan tidak
ada salahnya gue sebagai anaknya ngewakilin dia untuk meminta imbalan dari elu.
Bales budi dong!"
"Iya, Rio. Tapi bukan begini caranya!"
"Heh, yang gue butuhin cuman tubuh molek elu, tidak mau yang lain. Gue
tidak mau tau, elu mau kasih apa tidak!"
"Errgh..."
Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mulut Rio secepat kilat memagut mulutku.
Dengan memaksa ia melumat bibirku yang merekah itu, membuatku hampir tidak bisa
bernafas. Aku mencoba meronta-ronta melepaskan diri. Tapi cekalan tangan Rio jauh
lebih kuat, membuatku tak berdaya. "Akh!" Rio kesakitan sewaktu
kugigit lidahnya dengan cukup keras. Tapi, "Plak!" Ia menampar pipiku
dengan keras, membuat mataku berkunang-kunang. Kugeleng-gelengkan kepalaku yang
terasa seperti berputar-putar.
Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Rio mengeluarkan beberapa utas tali sepatu
dari dalam saku celananya. Kemudian ia membentangkan kedua tanganku, dan
mengikatnya masing-masing di ujung kiri dan kanan tempat tidur. Demikian juga
kedua kakiku, tak luput diikatnya, sehingga tubuhku menjadi terpentang tak
berdaya diikat di keempat arah. Oleh karena kencangnya ikatannya itu, tubuhku
tertarik cukup kencang, membuat dadaku tambah tegak membusung. Melihat
pemandangan yang indah ini membuat mata Rio tambah menyalang-nyalang bernafsu.
Tangan Rio mencengkeram kerah blus yang kukenakan. Satu persatu dibukanya
kancing penutup blusku. Setelah kancing-kancing blusku terbuka semua,
ditariknya blusku itu ke atas. Kemudian dengan sekali sentakan, ditariknya
lepas tali pengikat BH-ku, sehingga buah dadaku yang membusung itu terhampar
bebas di depannya.
"Wow! Elu punya toket bagus gini kok tidak bilang-bilang, Mer! Auum!"
Rio langsung melahap buah dadaku yang ranum itu. Gelitikan-gelitikan lidahnya
pada ujung puting susuku membuatku menggerinjal-gerinjal kegelian. Tapi aku
tidak mampu berbuat apa-apa. Semakin keras aku meronta-ronta tampaknya ikatan
tanganku semakin kencang. Sakit sekali rasanya tanganku ini. Jadi aku hanya
membiarkan buah dada dan puting susuku dilumat Rio sebebas yang ia suka. Aku
hanya bisa menengadahkan kepalaku menghadap langit-langit, memikirkan nasibku
yang sial ini.
"Aaarrghh... Rio! Jangaannn..!" Lamunanku buyar ketika terasa sakit
di selangkanganku. Ternyata Rio mulai menghujamkan kemaluannya ke dalam kewanitaanku.
Tambah lama bertambah cepat, membuat tubuhku tersentak-sentak ke atas. Melihat
aku yang sudah tergeletak pasrah, memberikan rangsangan yang lebih hebat lagi
pada Rio. Dengan sekuat tenaga ia menambah dorongan kemaluannya masuk-keluar
dalam kewanitaanku. Membuatku meronta-ronta tak karuan.
"Urrgh..." Akhirnya Rio sudah tidak dapat menahan lagi gejolak nafsu
di dalam tubuhnya. Kemaluannya menyemprotkan cairan-cairan putih kental di
dalam kewanitaanku. Sebagian berceceran di atas sprei sewaktu ia mengeluarkan
kemaluannya, bercampur dengan darah yang mengalir dari dalam kewanitaanku,
menandakan selaput daraku sudah robek olehnya. Karena kelelahan, tubuh Rio
langsung tergolek di samping tubuhku yang bermandikan keringat dengan nafas
terengah-engah.
"Braak!" Aku dan Rio terkejut mendengar pintu kamar terbuka ditendang
cukup keras. Lega hatiku melihat siapa yang melakukannya.
"Papa!"
"Rio! Apa-apa sih kamu ini?! Cepat kamu bebaskan Merry!"
Ah, akhirnya neraka jahanam ini berakhir juga, pikirku. Rio mematuhi perintah
ayahnya. Segera dibukanya seluruh ikatan di tangan dan kakiku. Aku bangkit dan
segera berlari menghambur ke arah ayah tiriku.
"Sudahlah, Mer. Maafin Rio ya. Itu kan sudah terjadi", kata ayah
tiriku menenangkan aku yang terus menangis dalam dekapannya.
"Tapi, Pa. Gimana nasib Meriska? Gimana, Pa? Aaahh... Papaa!"
tangisanku berubah menjadi jeritan seketika itu juga tatkala ayah tiriku
mengangkat tubuhku sedikit ke atas kemudian ia menghujamkan kemaluannya yang
sudah dikeluarkannya dari dalam celananya ke dalam kewanitaanku.
"Aaahh... Papaa... Jangaaan!" Aku meronta-ronta keras. Namun dekapan
ayah tiriku yang begitu kencang membuat rontaanku itu tidak berarti apa-apa
bagi dirinya. Ayah tiriku semakin ganas menyodok-nyodokkan kemaluannya ke dalam
kewanitaanku. Ah! Ayah dan anak sama saja, pikirku, begitu teganya mereka
menyetubuhi anak dan kakak tiri mereka sendiri.
Aku menjerit panjang kesakitan sewaktu Rio yang sudah bangkit dari tempat tidur
memasukkan kemaluannya ke dalam lubang anusku. Aku merasakan rasa sakit yang
hampir tak tertahankan lagi. Ayah dan kakak tiriku itu sama-sama menghunjam
tubuhku yang tak berdaya dari kedua arah, depan dan belakang. Akibat kelelahan
bercampur dengan kesakitan yang tak terhingga akhirnya aku tidak merasakan
apa-apa lagi, tak sadarkan diri. Aku sudah tidak ingat lagi apakah Rio dan
ayahnya masih mengagahiku atau tidak setelah itu.
Beberapa bulan telah berlalu. Aku merasa mual dan berkali-kali muntah di kamar
mandi. Akhirnya aku memeriksakan diriku ke dokter. Ternyata aku dinyatakan
positif hamil. Hasil diagnosa dokter ini bagaikan gada raksasa yang menghantam
wajahku. Aku mengandung? Kebingungan-kebingungan terus-menerus menyelimuti
benakku. Aku tidak tahu secara pasti, siapa ayah dari anak yang sekarang ada di
kandunganku ini. Ayah tiriku atau Rio. Hanya mereka berdua yang pernah
menyetubuhiku. Aku bingung, apa status anak dalam kandunganku ini. Yang pasti
ia adalah anakku. Lalu apakah ia juga sekaligus adikku alias anak ayah tiriku?
Ataukah ia juga sekaligus keponakanku sebab ia adalah anak adik tiriku sendiri?