Ekpressi Sesungguhnya Wajah Cewek Saat Ngentot Download |
Nikmatnya Diperkosa
Untuk mempersingkat waktu, maka saya
akan langsung saja menceritakan cerita baru. Namun perlu diingat bahwa ini
hanya sebuah cerita fiktif dan bukan cerita nyata. Dilarang keras untuk berpikir
bahwa cerita ini nyata. karena cerita ini memang fiktif belaka.
Namaku Winie, umurku sudah 35 tahun dengan dua orang anak yang sudah beranjak
dewasa. Waktu menikah umurku masih 19 tahun dan sekarang anakku yang paling tua
sudah berumur 15 tahun sedang yang bungsu berumur 13 tahun. Kedua anakku
disekolahkan di luar negeri semua sehingga di rumah hanya aku dan suami serta
dua orang pembantu yang hanya bekerja untuk membersihkan perabot rumah serta
kebun, sementara menjelang senja mereka pulang. Suamiku sebagai seorang
usahawan memiliki beberapa usaha di dalam dan luar negri. Kesibukannya membuat
suamiku selalu jarang berada di rumah. Bila suamiku berada di rumah hanya untuk
istirahat dan tidur sedang pagi-pagi sekali dia sudah kembali leyap dalam pandangan
mataku. Hari-hariku sebelum anakku yang bungsu menyusul kakaknya yang sudah
lebih dulu menuntut ilmu di luar negeri terasa menyenangkan karena ada saja
yang dapat kukerjakan, entah itu untuk mengantarkannya ke sekolah ataupun
membantunya dalam pelajaran. Namun semenjak tiga bulan setelah anakku berada di
luar negeri hari-hariku terasa sepi dan membosankan. Terlebih lagi bila suamiku
sedang pergi dengan urusan bisnisnya yang berada di luar negeri, bisa
meninggalkan aku sampai 2 mingguan lamanya.
Aku tidak pernah ikut campur urusan bisnisnya itu sehingga hari-hariku kuisi
dengan jalan-jalan ke mall ataupun pergi ke salon dan terkadang melakukan
senam. Sampai suatu hari kesepianku berubah total karena supirku. Suatu hari
setibanya di rumah dari tempatku senam supirku tanpa kuduga memperkosaku.
Seperti biasanya begitu aku tiba di dalam rumah, aku langsung membuka pintu
mobil dan langsung masuk ke dalam rumah dan melangkahkan kakiku menaiki anak
tangga yang melingkar menuju lantai dua dimana kamar utama berada. Begitu
kubuka pintu kamar, aku langsung melemparkan tasku ke bangku yang ada di dekat
pintu masuk dan aku langsung melepas pakaian senamku yang berwarna hitam hingga
tinggal BH dan celana dalam saja yang masih melekat pada tubuhku. Saat aku
berjalan hendak memasuki ruang kamar mandi aku melewati tempat rias kaca
milikku. Sesaat aku melihat tubuhku ke cermin dan melihat tubuhku sendiri,
kulihat betisku yang masih kencang dan berbentuk mirip perut padi, lalu mataku
mulai beralih melihat pinggulku yang besar seperti bentuk gitar dengan pinggang
yang kecil kemudian aku menyampingkan tubuhku hingga pantatku terlihat masih
menonjol dengan kencangnya.
Kemudian kuperhatikan bagian atas tubuhku, buah dadaku yang masih diselimuti BH
terlihat jelas lipatan bagian tengah, terlihat cukup padat berisi serta,
"Ouh... ngapain kamu di sini!" sedikit terkejut ketika aku sedang
asyik-asyiknya memandangi kemolekan tubuhku sendiri tiba-tiba saja kulihat dari
cermin ada kepalanya supirku yang rupanya sedang berdiri di bibir pintu kamarku
yang tadi lupa kututup.
"Jangan ngeliatin... sana cepet keluar!" bentakku dengan marah sambil
menutupi bagian tubuhku yang terbuka.
Tetapi supirku bukannya mematuhi perintahku malah kakinya melangkah maju satu
demi satu masuk kedalam kamar tidurku.
"Aris... Saya sudah bilang cepat keluar!" bentakku lagi dengan mata
melotot.
"silakan ibu teriak sekuatnya, hujan di luar akan melenyapkan suara
ibu!" ucapnya dengan matanya menatap tajam padaku.
Sepintas kulihat celah jendela yang berada di sampingku dan ternyata memang
hujan sedang turun dengan lebat, memang ruang kamar tidurku cukup rapat
jendela-jendelanya hingga hujan turun pun takkan terdengar hanya saja di luar
sana kulihat dedaunan dan ranting pohon bergoyang tertiup angin kesana kemari.
Detik demi detik tubuh supirku semakin dekat dan terus melangkah menghampiriku.
Terasa jantungku semakin berdetak kencang dan tubuhku semakin menggigil
karenanya. Aku pun mulai mundur teratur selangkah demi selangkah, aku tidak
tahu harus berbuat apa saat itu sampai akhirnya kakiku terpojok oleh bibir
ranjang tidurku.
"Mas... jangan!" kataku dengan suara gemetar.
"Hua... ha... ha... ha...!" suara tawa supirku saat melihatku mulai
kepepet.
"Jangan...!" jeritku, begitu supirku yang sudah berjarak satu meteran
dariku menerjang tubuhku hingga tubuhku langsung terpental jatuh di atas
ranjang dan dalam beberapa detik kemudian tubuh supirku langsung menyusul jatuh
menindih tubuhku yang telentang.
Aku terus berusaha meronta saat supirku mulai menggerayangi tubuhku dalam
himpitannya. Perlawananku yang terus-menerus dengan menggunakan kedua tangan
dan kedua kakiku untuk menendang-nendangnya terus membuat supirku juga
kewalahan hingga sulit untuk berusaha menciumi aku sampai aku berhasil lepas
dari himpitan tubuhnya yang besar dan kekar itu. Begitu aku mendapat kesempatan
untuk mundur dan menjauh dengan membalikkan tubuhku dan berusaha merangkak
namun aku masih kalah cepat dengannya, supirku berhasil menangkap celana
dalamku sambil menariknya hingga tubuhku pun jatuh terseret ke pinggir ranjang
kembali dan celana dalam putihku tertarik hingga bongkahan pantatku terbuka.
Namun aku terus berusaha kembali merangkak ke tengah ranjang untuk menjauhinya.
Lagi-lagi aku kalah cepat dengan supirku, dia berhasil menangkap tubuhku
kembali namun belum sempat aku bangkit dan berusaha merangkak lagi, tiba-tiba
saja pinggulku terasa kejatuhan benda berat hingga tidak dapat bergerak lagi.
"Aris... Jangan... jangan... mas..." kataku berulang-ulang sambil
terisak nangis.
Rupanya supirku sudah kesurupan dan lupa siapa yang sedang ditindihnya. Setelah
melihat tubuhku yang sudah mulai kecapaian dan kehabisan tenaga lalu supirku
dengan sigapnya menggenggam lengan kananku dan menelikungnya kebelakan tubuhku
begitu pula lengan kiriku yang kemudian dia mengikat kedua tanganku kuat-kuat,
entah dengan apa dia mengikatnya. Setelah itu tubuhnya yang masih berada di
atas tubuhku berputar menghadap kakiku. Kurasakan betis kananku digenggamnya
kuat-kuat lalu ditariknya hingga menekuk. Lalu kurasakan pergelangan kaki
kananku dililitnya dengan tali. Setelah itu kaki kiriku yang mendapat giliran
diikatkannya bersama dengan kaki kananku.
"Saya ingin mencicipi ibu..." bisiknya dekat telingaku.
"Sejak pertama kali saya melamar jadi supir ibu, saya sudah menginginkan
mendapatkan kesempatan seperti sekarang ini." katanya lagi dengan suara
nafas yang sudah memburu.
"Tapi saya majikan kamu Ris..." kataku mencoba mengingatkan.
"Memang betul bu... tapi itu waktu jam kerja, sekarang sudah pukul 7 malam
berarti saya sudah bebas tugas..." balasnya sambil melepas ikatan tali BH
yang kukenakan.
"Hhh mmm uuhhh," desah nafasnya memenuhi telingaku.
"Tapi malam ini bu Winie harus mau melayani saya," katanya sambil
terus mendengus-denguskan hidungnya di seputar telingaku hingga tubuhku
merinding dan geli.
Setelah supirku melepas pakaiannya sendiri lalu tubuhku dibaliknya hingga
telentang. Aku dapat melihat tubuh polosnya itu. Tidak lama kemudian supirku
menarik kakiku sampai pahaku melekat pada perutku lalu mengikatkan tali lagi
pada perutku. Tubuhku kemudian digendongnya dan dibawanya ke pojok bagian
kepala ranjang lalu dipangkunya di atas kedua kaki yang diselonjorkan, mirip
anak perempuan yang tubuhnya sedang dipeluk ayahnya. Tangan kirinya menahan
pundakku sehingga kepalaku bersandar pada dadanya yang bidang dan terlihat otot
dadanya berbentuk dan kencang sedangkan tangan kanannya meremasi kulit pinggul,
pahaku dan pantatku yang kencang dan putih bersih itu.
"Aris... jangan Ris... jangan!" ucapku berulang-ulang dengan nada terbata-bata
mencoba mengingatkan pikirannya.
Namun Aris, supirku tidak memperdulikan perkataanku sebaliknya dengan senyum
penuh nafsu terus saja meraba-raba pahaku.
"Ouh... zzzt... Euh..." desisku panjang dengan tubuh menegang menahan
geli serta seperti terkena setrum saat kurasakan tangannya melintasi belahan
kedua pahaku.
Apalagi telapak dan jemari tangannya berhenti tepat di tengah-tengah lipatan
pahaku.
"Masss... Eee" rintihku lebih panjang lagi dengan bergetar sambil
memejapkan mata ketika kurasakan jemarinya mulai mengusap-usap belahan bibir
vaginaku. Tangan mas Aris terus menyentuh dan bergerak dari bawah ke atas lalu
kembali turun lagi dan kembali ke atas lagi dengan perlahan sampai beberapa
kali. Lalu mulai sedikit menekan hingga ujung telunjuknya tenggelam dalam
lipatan bibir vaginaku yang mulai terasa berdenyut-denyut, gatal dan geli.
Tangannya yang terus meraba dan menggelitik-gelitik bagian dalam bibir vaginaku
membuat birahiku jadi naik dengan cepatnya, apalagi sudah cukup lama tubuhku
tidak pernah mendapatkan kehangatan lagi dari suamiku yang selalu sibuk dan
sibuk. Entah siapa yang memulai duluan saat pikiranku sedang melayang kurasakan
bibirku sudah beradu dengan bibirnya saling berpagut mesra, menjilat, mengecup,
menghisap liur yang keluar dari dalam mulut masing-masing.
"Ouh... Winie... wajahmu cukup merangsang sekali Winie...!" ucapnya
dengan nafasnya yang semakin memburu itu.
Setelah berkata begitu tubuhku ditarik hingga buah dadaku yang menantang itu
tepat pada mukanya dan kemudian, "Ouh... mas..." rintihku panjang
dengan kepala menengadah kebelakan menahan geli bercampur nikmat yang tiada
henti setelah mulutnya dengan langsung memagut buah dadaku yang ranum itu.
Kurasakan mulutnya menyedot, memagut, bahkan menggigit-gigit kecil punting susuku
sambil sekali-kali menarik-narik dengan giginya.
Entah mengapa perasaanku saat itu seperti takut, ngeri bahkan sebal bercampur
aduk di dalam hati, namun ada perasaan nikmat yang luar biasa sekali
seakan-akan ada sesuatu yang pernah lama hilang kini kembali datang merasuki
tubuhku yang sedang dalam keadaan tidak berdaya dan pasrah. "Bruk..."
tiba-tiba tangan mas Aris melepaskan tubuhku yang sedang asyik-asyiknya aku
menikmati sedalam-dalamnya tubuhku yang sedang melambung dan melayang-layang
itu hingga tubuhku terjatuh di atas ranjang tidurku. Tidak berapa lama kemudian
kurasakan bagian bibir vaginaku dilumat dengan buas seperti orang yang
kelaparan. Mendapat serangan seperti itu tubuhku langsung
menggelinjang-gelinjang dan rintihan serta erangan suaraku semakin meninggi
menahan geli bercampur nikmat sampai-sampai kepalaku bergerak menggeleng ke
kanan dan ke kiri berulang-ulang. Cukup lama mulutnya mencumbu dan melumati
bibir vaginaku terlebih-lebih pada bagian atas lubang vaginaku yang paling
sensitif itu.
"Aris... sudah... sudah... ouh... ampun Aar.. riss..." rintihku
panjang dengan tubuh yang mengejang-ngejang menahan geli yang menggelitik
bercampur nikmat yang luar biasa rasanya saat itu. Lalu kurasakan tangannya pun
mulai rebutan dengan bibirnya. Kurasakan jarinya dicelup ke dalam lorong kecil
kemaluanku dan mengorek-ngorek isi dalamnya.
"Ouh... Ris..." desisku menikmati alur permainannya yang terus terang
belum pernah kudapatkan bahkan dengan suamiku sendiri.
"Sabar Win..., saya suka sekali dengan lendirmu sayang!" suara
supirku yang setengah bergumam sambil terus menjilat dan menghisap-hisap tanpa
hentinya sampai beberapa menit lagi lamanya.
Setelah puas mulutnya bermain dan berkenalan dengan bibir kemaluanku yang
montok itu si Aris lalu mendekati wajahku sambil meremas-remas buah dadaku yang
ranum dan kenyal itu.
"Bu Winie..., saya entot sekarang ya... sayang..." bisiknya lebih
pelan lagi dengan nafas yang sudah mendesah-desah. "Eee..." pekikku
begitu kurasakan di belahan pangkal pahaku ada benda yang cukup keras dan besar
mendesak-desak setengah memaksa masuk belahan bibir vaginaku.
"Tenang sayang... tenang... dikit lagi... dikit lagi..."
"Aah... sak... kiiit..!" jeritku keras-keras menahan ngilu yang amat
sangat sampai-sampai terasa duburku berdenyut-denyut menahan ngilunya. Akhirnya
batang penis supirku tenggelam hingga dalam dibalut oleh lorong kemaluanku dan
terhimpit oleh bibir vaginaku.
Beberapa saat lamanya, supirku dengan sengaja, penisnya hanya didiamkan saja
tidak bergerak lalu beberapa saat lagi mulai terasa di dalam liang vaginaku
penisnya ditarik keluar perlahan-lahan dan setelah itu didorong masuk lagi,
juga dengan perlahan-lahan sekali seakan-akan ingin menikmati gesekan-gesekan
pada dinding-dinding lorong yang rapat dan terasa bergerenjal-gerenjal itu.
Makin lama gerakannya semakin cepat dan cepat sehingga tubuhku semakin
berguncang dengan hebatnya sampai, "Ouhhh..."
Tiba-tiba suara supirku dan suaraku sama-sama beradu nyaring sekali dan panjang
lengkingannya dengan diikuti tubuhku yang kaku dan langsung lemas bagaikan
tanpa tulang rasanya. Begitu pula dengan tubuh supirku yang langsung terhempas
kesamping tubuhku.
"Sialan kamu Ris!" ucapku memecah kesunyian dengan nada geram.
Setelah beberapa lama aku melepas lelah dan nafasku sudah mulai tenang dan
teratur kembali.
"Kamu gila Ris, kamu telah memperkosa istri majikanmu sendiri, tau!"
ucapku lagi sambil memandang tubuhnya yang masih terkulai di samping sisiku.
"Bagaimana kalau aku hamil nanti?" ucapku lagi dengan nada kesal.
"Tenang bu Winie.., saya masih punya pil anti hamil, bu Winie."
ucapnya dengan tenang.
"Iya... tapi kan udah telat!" balasku dengan sinis dan ketus.
"Tenang bu... tenang... setiap pagi ibu kan selalu minum air putih dan
selama dua hari sebelumnya saya selalu mencampurkan dengan obatnya jadi bu
Winie enggak usah khawatir bakalan hamil bu," ucapnya malah lebih tenang
lagi.
"Ouh... jadi kamu sudah merencanakannya, sialan kamu Ris..." ucapku
dengan terkejut, ternyata diam-diam supirku sudah lama merencanakannya.
"Bagaimana bu Winie...?"
"Bagaimana apanya? Sekarang kamu lepasin saya Ris..." kataku masih
dengan nada kesal dan gemas.
"Maksudnya, tadi waktu di Entotin enak kan?" tanyanya lagi sambil
membelai rambutku.
Wajahku langsung merah padam mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh
supirku, namun dalam hati kecilku tidak dapat kupungkiri walaupun tadi dia
sudah memperkosa dan menjatuhkan derajatku sebagai majikannya, namun aku
sendiri turut menikmatinya bahkan aku sendiri merasakan organsime dua kali.
"Kok ngak dijawab sich!" tanya supirku lagi.
"Iya..iya, tapi sekarang lepasin talinya dong Aris!" kataku dengan
menggerutu karena tanganku sudah pegal dan kaku.
"Nanti saja yach! Sekarang kita mandi dulu!" ucapnya sambil langsung
menggendong tubuhku dan membawa ke kamar mandi yang berada di samping tempat
ranjangku. Tubuhku yang masih lemah lunglai dengan kedua tangan dan kakiku yang
masih terikat itu diletakkan di atas lantai keramik berwarna krem muda yang
dingin tepat di bawah pancuran shower yang tergantung di dinding. Setelah itu
supirku menyalakan lampu kamar mandiku dan menyalakan kran air hingga tubuhku
basah oleh guyuran air dingin yang turun dari atas pancuran shower itu. Melihat
tubuhku yang sudah basah dan terlihat mengkilat oleh pantulan lampu kamar mandi
lalu Aris supirku berjongkok dekatku dan kemudian duduk di sampingku hingga
tubuhnya pun turut basah oleh air yang turun dari atas.
Mata supirku yang memandangiku seperti terlihat lain dari biasanya, dia mulai
mengusap rambutku yang basah ke belakang dengan penuh sayang seperti sedang
menyayang seorang anak kecil. Lalu diambilnya sabun Lux cair yang ada di dalam
botol dan menumpahkan pada tubuhku lalu dia mulai menggosok-gosok tubuhku
dengan telapak tangannya. Pinggulku, perutku lalu naik ke atas lagi ke buah
dadaku kiri dan kemudian ke buah dadaku yang kanan. Tangannya yang terasa kasar
itu terus menggosok dan menggosok sambil bergerak berputar seperti sedang
memoles mobil dengan cairan kits. Sesekali dia meremas dengan lembut buah dada
dan punting susuku hingga aku merasa geli dibuatnya, lalu naik lagi di atas
buah dadaku, pundakku, leherku lalu ke bahuku, kemudian turun lagi ke lenganku.
"Ah... mas..." pekikku ketika tangannya kembali turun dan turun lagi
hingga telapak tangannya menutup bibir vaginaku.
Kurasakan telapak tangannya menggosok-gosok bibir vaginaku naik turun dan
kemudian membelah bibir vaginaku dengan jemari tangannya yang lincah dan
cekatan dan kembali menggosok-gosokkannya hingga sabun Lux cair itu menjadi
semakin berbusa.
Setelah memandikan tubuhku lalu dia pun membasuh tubuhnya sendiri sambil
membiarkan tubuhku tetap bersandar di bawah pancuran shower. Usai membersihkan
badan, supirku lalu menggendongku keluar kamar mandi dan menghempaskan tubuhku
yang masih basah itu ke atas kasur tanpa melap tubuhku terlebih dahulu.
"Saya akan bawakan makanan ke sini yach!" ucapnya sambil supirku
melilit handuk yang biasa kupakai kepinggangnya lalu ngeloyor ke luar kamarku
tanpa sempat untuk aku berbicara. Sudah tiga tahun lebih aku tidak pernah
merasakan kehangatan yang demikian memuncak, karena keegoisan suamiku yang
selalu sibuk dengan pekerjaan. Memang dalam hal keuangan aku tidak pernah
kekurangan. Apapun yang aku mau pasti kudapatkan, namun untuk urusan kewajiban
suami terhadap istrinya sudah lama tidak kudapatkan lagi.
Entah mengapa perasaanku saat ini seperti ada rasa sedang, gembira atau.. entah
apalah namanya. Yang pasti hatiku yang selama ini terasa berat dan bosan hilang
begitu saja walaupun dalam hati kecilku juga merasa malu, benci, sebal dan kesal.
Supirku cukup lama meninggalkan diriku sendirian, namun waktu kembali rupanya
dia membawakan masakan nasi goreng dengan telor yang masih hangat serta segelas
minuman kesukaanku. Lalu tubuhku disandarkan pada teralis ranjang.
"Biar saya yang suapin bu Winie yach!" ucapnya sambil menyodorkan
sesendok nasi goreng yang dibuatnya.
"Kamu yang masak Ris!" tanyaku ingin tahu.
"Iya, lalu siapa lagi yang masak kalau bukan saya, kan di rumah cuma
tinggal kita berdua, si Wati kan udah saya suruh pulang duluan sebelum hujan
tadi turun!" kata supirku.
"Ayo dicicipi!" katanya lagi.
Mulanya aku ragu untuk mencicipi nasi goreng buatannya, namun perutku yang
memang sudah terasa lapar, akhirnya kumakan juga sesendok demi sesendok. Tidak
kusangka nasi goreng buatannya cukup lumanyan juga rupanya. Tanpa terasa nasi
goreng di piring dapat kuhabisi juga.
"Bolehkan saya memanggil bu Winie dengan sebutan mbak?" tanyanya
sambil membasuh mulutku dengan tissue.
"Boleh saja, memang kenapa?" tanyaku.
"Engga apa-apa, biar enak aja kedengaran di kupingnya."
Kalau saya boleh manggil Mbak Winie, berarti bu Winie eh... salah maksudnya
Mbak Winie, panggil saya Bang aja yach!" celetuknya meminta.
"Terserah kamu saja " kataku.
"Sudah nggak capai lagi kan Mbak Winie!" sahut supirku.
"Memang kenapa!?" tanyaku.
"Masih kuatkan?" tanyanya lagi dengan senyum binal sambil mulai
meraba-raba tubuhku kembali.
Aku tidak memberi jawaban lagi, hanya menunduk malu, tadi saja aku diperkosanya
malah membuatku puas disetubuhinya apalagi untuk babak yang kedua kataku dalam
hati. Sejujurnya aku tidak rela tubuhku diperkosanya namun aku tidak mampu
untuk menolak permintaannya yang membuat tubuhku dapat melayang-layang di udara
seperti dulu saat aku pertama kali menikah dengan suamiku.